Segala puji
bagi Allah Ta’ala atas segala macam nikmat yang telah
diberikan-Nya. Dan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam beserta keluarga, para sahabatnya dan pengikutnya
hingga akhir zaman.
Segala puji
bagi Allah, pada saat ini Allah telah menganugerahkan kita suatu karunia dengan
menurunkan hujan melalui kumpulan awan. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَرَأَيْتُمُ
الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ (68) أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ
أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ (69)
“Maka
terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya
atau Kamikah yang menurunkannya?” (QS. Al Waqi’ah [56] : 68-69)
Begitu juga
firman Allah Ta’ala,
وَأَنْزَلْنَا
مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14)
“Dan Kami
turunkan dari awan air yang banyak tercurah.” (QS. An Naba’ [78] : 14)
Allah Ta’ala juga
berfirman,
فَتَرَى
الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ
“Maka
kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya.” (QS. An Nur [24] :
43) yaitu dari celah-celah awan.[1]
Merupakan
tanda kekuasaan Allah Ta’ala, kesendirian-Nya dalam
menguasai dan mengatur alam semesta, Allah menurunkan hujan pada tanah yang
tandus yang tidak tumbuh tanaman sehingga pada tanah tersebut tumbuhlah tanaman
yang indah untuk dipandang. Allah Ta’ala telah mengatakan yang
demikian dalam firman-Nya,
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الأرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ
اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan di
antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka
apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur.
Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati.
Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat [41] :
39). Itulah hujan, yang Allah turunkan untuk menghidupkan tanah yang mati.
Sebagaimana pembaca dapat melihat pada daerah yang kering dan jarang sekali
dijumpai air seperti Gunung Kidul, tatkala hujan itu turun, datanglah
keberkahan dengan mekarnya kembali berbagai tanaman dan pohon jati kembali
hidup setelah sebelumnya kering tanpa daun. Sungguh ini adalah suatu kenikmatan
yang amat besar.
Sebagai
tanda syukur kepada Allah atas nikmat hujan yang telah diberikan ini, sebaiknya
kita mengilmui beberapa hal seputar musim hujan. Untuk tulisan pertama, kami
akan menjelaskan amalan-amalan yang semestinya dilakukan seorang muslim ketika
hujan turun. Setelah itu, kita akan memperjari fenomena kilatan petir dan
geledek. Dan terakhir kita akan mengkaji bersama mengenai beberapa keringanan
di musim penghujan. Semoga bermanfaat.
:: Beberapa
Amalan Ketika Turun Hujan ::
[1] Keadaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Tatkala Mendung
Ketika
muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu
khawatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah. Dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى نَاشِئاً فِي أُفُقٍ
مِنْ آفَاِق السَمَاءِ، تَرَكَ عَمَلَهُ- وَإِنْ كَانَ فِي صَلَاةٍ- ثُمَّ
أَقْبَلَ عَلَيْهِ؛ فَإِنْ كَشَفَهُ اللهُ حَمِدَ اللهَ، وَإِنْ مَطَرَتْ قَالَ:
“اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً”
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam apabila melihat awan (yang belum berkumpul sempurna,
pen) di salah satu ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya –meskipun
dalam shalat- kemudian beliau kembali melakukannya lagi (jika hujan sudah
selesai, pen). Ketika awan tadi telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika
turun hujan, beliau mengucapkan, “Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah
jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat].”[2]
‘Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata,
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا رَأَى مَخِيلَةً فِى السَّمَاءِ أَقْبَلَ
وَأَدْبَرَ وَدَخَلَ وَخَرَجَ وَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ ، فَإِذَا أَمْطَرَتِ
السَّمَاءُ سُرِّىَ عَنْهُ ، فَعَرَّفَتْهُ عَائِشَةُ ذَلِكَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ
– صلى الله عليه وسلم – « مَا أَدْرِى لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمٌ ( فَلَمَّا
رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ ) »
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam apabila melihat mendung di langit, beliau beranjak
ke depan, ke belakang atau beralih masuk atau keluar, dan berubahlah raut wajah
beliau. Apabila hujan turun, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai
menenangkan hatinya. ‘Aisyah sudah memaklumi jika beliau melakukan seperti itu.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan, “Aku tidak
mengetahui apa ini, seakan-akan inilah yang terjadi (pada Kaum ‘Aad)
sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka tatkala mereka melihat azab
itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka.” (QS. Al Ahqaf [46] : 24)”[3]
Ibnu Hajar
mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa seharusnya seseorang menjadi kusut
pikirannya jika ia mengingat-ingat apa yang terjadi pada umat di masa silam dan
ini merupakan peringatan agar ia selalu merasa takut akan adzab sebagaimana
ditimpakan kepada mereka yaitu umat-umat sebelumnya.”[4]
[2]
Mensyukuri Nikmat Turunnya Hujan
Apabila
Allah memberi nikmat hujan, dianjurkan bagi seorang muslim dalam rangka
bersyukur kepada-Nya untuk membaca do’a,
اللَّهُمَّ
صَيِّباً ناَفِعاً
“Allahumma
shoyyiban naafi’aa [Ya Allah, turunkanlah pada kami hujan yang
bermanfaat].“
Itulah yang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan ketika melihat
turunnya hujan. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha,
إِنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ
صَيِّباً نَافِعاً »
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, “Allahumma
shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang
bermanfaat]“.[5]
Ibnu
Baththol mengatakan, “Hadits ini berisi anjuran untuk berdo’a ketika turun
hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin
banyak kemanfaatan.”
Al Khottobi
mengatakan, “Air hujan yang mengalir adalah suatu karunia.”[6]
[3] Turunnya
Hujan, Kesempatan Terbaik untuk Memanjatkan Do’a
Ibnu Qudamah
dalam Al Mughni[7] mengatakan,
“Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اُطْلُبُوا
اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ،
وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
‘Carilah
do’a yang mustajab pada tiga keadaan : [1] Bertemunya dua pasukan, [2]
Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.”[8]
Begitu juga
terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ثِنْتَانِ
مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَ تَحْتَ المَطَرِ
“Dua do’a
yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika
turunnya hujan.“[9]
[4]
Ketika Terjadi Hujan Lebat
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam suatu saat pernah meminta diturunkan hujan. Kemudian
ketika hujan turun begitu lebatnya, beliau memohon pada Allah agar cuaca
kembali menjadi cerah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,
اللَّهُمّ
حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ
وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“Allahumma
haawalaina wa laa ‘alaina. Allahumma ‘alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi,
wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari [Ya Allah, turunkanlah hujan di
sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran
tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].”[10]
Ibnul Qayyim
mengatakan, “Ketika hujan semakin lebat, para sahabat meminta pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam supaya berdo’a agar cuaca kembali menjadi cerah.
Akhirnya beliau membaca do’a di atas.”[11]
Syaikh
Sholih As Sadlan mengatakan bahwa do’a di atas dibaca ketika hujan semakin
lebat atau khawatir hujan akan membawa dampak bahaya.[12]
[5]
Mengambil Berkah dari Air Hujan
Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami pernah kehujanan
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya
hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa
engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
لأَنَّهُ
حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى
“Karena hujan
ini baru saja Allah ciptakan.”[13]
An Nawawi
menjelaskan, “Makna hadits ini adalah hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru
saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.”[14]
An Nawawi
selanjutnya mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi ulama Syafi’iyyah
tentang dianjurkannya menyingkap sebagian badan (selain aurat) pada awal
turunnya hujan, agar terguyur air hujan tersebut. Dan mereka juga berdalil dari
hadits ini bahwa seseorang yang tidak memiliki keutamaan, apabila melihat orang
yang lebih berilmu melakukan sesuatu yang ia tidak ketahui, hendaknya ia
menanyakannya untuk diajari lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya pada
yang lain.”[15]
Dalam hal
mencari berkah dengan air hujan dicontohkan pula oleh sahabat Ibnu ‘Abbas.
Beliau berkata,
أَنَّهُ
كَانَ إِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ، يَقُوْلُ: “يَا جَارِيَّةُ ! أَخْرِجِي
سَرْجِي، أَخْرِجِي ثِيَابِي، وَيَقُوْلُ: وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
مُبَارَكاً [ق: 9].
“Apabila
turun hujan, beliau mengatakan, “Wahai jariyah keluarkanlah
pelanaku, juga bajuku”.” Lalu beliau membacakan (ayat) [yang artinya], “Dan
Kami menurunkan dari langit air yang penuh barokah (banyak manfaatnya).”
(QS. Qaaf [50] : 9)” [16]
[6]
Dianjurkan Berwudhu dengan Air Hujan
Ibnu Qudamah
mengatakan, “Dianjurkan untuk berwudhu dengan air hujan apabila airnya mengalir
deras.”[17]
Dari Yazid
bin Al Hadi, apabila air yang deras mengalir, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengatakan,
اُخْرُجُوا
بِنَا إلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللَّهُ طَهُورًا ، فَنَتَطَهَّرَمِنْهُ
وَنَحْمَدَ اللّهَ عَلَيْهِ
“Keluarlah
kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat
untuk bersuci.” Kemudian kami bersuci dengan air tersebut dan memuji
Allah atas nikmat ini.”[18]
Namun,
hadits di atas adalah hadits yang lemah karena munqothi’ (terputus
sanadnya) sebagaimana dikatakan oleh Al Baihaqi[19].
Ada hadits
yang serupa dengan hadits di atas dan shahih,
كَانَ
يَقُوْلُ إِذَا سَالَ الوَادِي ” أُخْرُجُوْا بِنَا إِلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ
اللهُ طَهُوْرًا فَنَتَطَهَّرُ بِهِ “
“Apabila air
mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh
Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.”[20]
[7]
Janganlah Mencela Hujan
Sungguh
sangat disayangkan sekali, setiap orang sudah mengetahui bahwa hujan merupakan
nikmat dari Allah Ta’ala. Namun, ketika hujan dirasa mengganggu
aktivitasnya, timbullah kata-kata celaan, “Aduh!! hujan lagi, hujan lagi”.
Perlu
diketahui bahwa setiap yang seseorang ucapkan, baik yang bernilai dosa atau
tidak bernilai dosa dan pahala, semua akan masuk dalam catatan malaikat.
Allah Ta’ala berfirman,
مَا يَلْفِظُ
مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada
suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas
yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50] : 18)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ
لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً ،
يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى
جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya
ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu
Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu. Dan ada juga seorang
hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak
pernah dipikirkan bahayanya lalu dia dilemparkan ke dalam jahannam.“[21]
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menasehatkan kita agar jangan selalu
menjadikan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai kambing hitam jika
kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti beliau melarang kita
mencela waktu dan angin karena kedua makhluk tersebut tidak dapat berbuat
apa-apa.
Dalam sebuah
hadits qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ
اللَّهُ تَعَالَى يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ ،
بِيَدِى الأَمْرُ ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Manusia
menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan
pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.“[22]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ
تَسُبُّوا الرِّيحَ
“Janganlah
kamu mencaci maki angin.”[23]
Dari dalil
di atas terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu) dan angin adalah sesuatu yang
terlarang. Begitu pula halnya dengan mencaci maki makhluk yang tidak dapat
berbuat apa-apa, seperti mencaci maki angin dan hujan adalah terlarang.
Larangan ini
bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang
dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari kejelekan yang
terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang
menjadikan baik dan buruk. Ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain
Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan
makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka
seperti ini hukumnya haram, tidak sampai derajat syirik. Dan
apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan, “Hari
ini hujan deras, sehingga kita tidak bisa berangkat ke masjid untuk shalat”,
tanpa ada tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa.[24]
Intinya,
mencela hujan tidak terlepas dari hal yang terlarang karena itu sama saja orang
yang mencela hujan mencela Pencipta hujan yaitu Allah Ta’ala. Ini
juga menunjukkan ketidaksabaran pada diri orang yang mencela. Sudah seharusnya
lisan ini selalu dijaga. Jangan sampai kita mengeluarkan kata-kata yang dapat
membuat Allah murka. Semestinya yang dilakukan ketika turun hujan adalah banyak
bersyukur kepada-Nya sebagaimana telah diterangkan dalam point-point
sebelumnya.
[8] Berdo’a
Setelah Turunnya Hujan
Dari Zaid
bin Kholid Al Juhani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
shalat shubuh bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam
harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu
mengatakan, “Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?”
Kemudian mereka mengatakan,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui“.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَصْبَحَ
مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ
اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا
مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ
بِالْكَوْكَبِ »
“Pada pagi
hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa
yang mengatakan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi
hujan karena karunia dan rahmat Allah), maka dialah
yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang
mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza‘ (Kami diberi hujan karena
sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada
bintang-bintang.”[25]
Dari hadits
ini terdapat dalil untuk mengucapkan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita
diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah) setelah turun hujan sebagai tanda
syukur atas nikmat hujan yang diberikan.
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Tidak boleh bagi seseorang menyandarkan turunnya hujan karena sebab
bintang-bintang. Hal ini bisa termasuk kufur akbar yang menyebabkan
seseorang keluar dari Islam jika ia meyakini bahwa bintang tersebut adalah yang
menciptakan hujan. Namun kalau menganggap bintang tersebut hanya sebagai sebab,
maka seperti ini termasuk kufur ashgor (kufur yang tidak
menyebabkan seseorang keluar dari Islam). Ingatlah bahwa bintang tidak
memberikan pengaruh terjadinya hujan. Bintang hanya sekedar waktu semata.”[26]
Demikian
beberapa amalan yang bisa diamalkan ketikan hujan turun.
Semoga Allah
memudahkan posting selanjutnya mengenai fenomena kilatan petir dan geledek.
[1] Lihat Majmu’
Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 24/262, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[2] Lihat Adabul
Mufrod no. 686, dihasankan oleh Syaikh Al Albani
[4] Fathul
Bari Syarh Shohih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Asy Syafi’i, 6/301,
Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H
[5] HR.
Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190, dan An Nasai no. 1523.
[6] Syarh
Al Bukhari, Ibnu Baththol, 5/18, Asy Syamilah.
[7] Al
Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hambal Asy Syaibani, Ibnu Qudamah Al
Maqdisi, 2/294, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama, 1405 H.
[8] Dikeluarkan
oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al
Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih. Lihat Shohihul Jaami’ no. 1026.
[9] HR. Al
Hakim dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat
Shohihul Jaami’ no. 3078.
[10] HR.
Bukhari no. 1014.
[11] Zaadul
Ma’ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/439, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14,
tahun 1407 H.
[12] Lihat
Dzikru wa Tadzkir, Sholih As Sadlan, hal. 28, Asy Syamilah.
[14] Syarh
Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 6/195, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy,
cetakan kedua, 1392 H.
[15] Syarh
Muslim, 6/196.
[16] Lihat
Adabul Mufrod no. 1228. Syaikh Al Albani mengatakan sanad hadits ini shohih dan
hadits ini mauquf [perkataan sahabat].
[18] Dikeluarkan
oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro (3/359) dan Tuhfatul Muhtaj (1/567).
Dikeluarkan pula oleh An Nawawi dalam Al Khulashoh (2/884) dan Ibnu Katsir
dalam Irsyadul Faqih (1/216) [dinukil dari http://dorar.net ].
Lihat pula Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 1/439. Hadits ini adalah
hadits yang lemah karena munqothi’ yaitu ada sanad yang
terputus.
[19] Syaikh
Al Albani dalam Dho’if Al Jaami’ no. 4416 mengatakan bahwa
hadits ini dho’if.
[20] HR.
Muslim, Abu Daud, Al Baihaqi, dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Gholil no.
679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih.
[21] HR.
Bukhari no. 6478.
[22] HR.
Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246, dari Abu Hurairah.
[23] HR.
Tirmidzi no. 2252, dari Abu Ka’ab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih.
[24] Faedah
dari guru kami Ustadz Abu Isa hafizhohullah. Lihat buah pena beliau
“Mutiara Faedah Kitab Tauhid“, hal. 227-231, Pustaka Muslim, cetakan
pertama, Jumadal Ula 1428 H.
[25] HR.
Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71, dari Kholid Al Juhaniy.
[26] Kutub
wa Rosa’il Lil ‘Utsaimin, 170/20, Asy Syamilah.